Perlu disampaikan bahwa uraian-uraian pemikiran filsafat Ibnu Rusyd di atas belum sepenuhnya dapat dijelaskan secara terperinci dan mendalam. Ibnu Rusyd
merupakan filosof muslim yang kaya dengan khasanah pemikiran-pemikiran
yang filosofis dan ilmiah, sehingga pemikiran dan karya-karyanya tidak
hanya dihargai di dunia Islam namun juga di dunia Barat yang ditandai
dengan munculnya gerakan Averroisme di Eropa. Penulis berkeyakinan
bahwa filsafat itu penting, untuk mengenal Tuhan lebih dalam, selain
pendekatan keimanan, maupun secara pendekatan ilmiyah dan logika.
Filsafat Ibnu Rusyd menurut penulis tidak ada yang bertentangan dengan
ajaran Islam sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali sebelumnya, namun
berbeda pada penamaannya saja. Dalam perkataan lain tidak ada yang salah
dengan pemikiran Ibnu Rusyd dan tidak menolak pula apa yang dijelaskan
oleh al-Ghazali. Umat Islam jangan dan cepat mengambil kesimpulan dan
latah dalam memahami dan menilai Ibnu Rusyh. Ia adalah ulama besar Islam
yang patut dipuji yang telah banyak memberikan kontribusi terhadap
kemajuan Eropa dan umat Islam, kita berharap sosok Ibnu Rusyd bangkit di
abad 21 ini.
A. PENDAHULUAN
Di Andalusia, tepatnya di kota
Cordova lahir seorang filosof Muslim terkenal bernama Ibnu Rusyd. Ketika
itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang
maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan muslim besar
seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di sisi lain, Eropa (baca:
masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan
dan terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages),
sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya
peradaban Islam di Andalusia, telah menjadi jembatan bagi Eropa untuk
mengetahui dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan
demikian dunia Islam telah memberikan kontribusi yang besar bagi
kemajuan Eropa.
Sebagai seorang filosof, Ibnu
Rusyd banyak memberikan kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat,
baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari
filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat
mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau
komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia terkenal sebagai
komentator Aristoteles.
Dalam makalah ini sekilas akan
diuraikan beberapa pemikiran filsafat Ibnu Rusyd, biografi dan karyanya,
tanggapan terhadap kritik al-Ghazali, di samping pengaruh pemikirannya
dalam ilmu pengetahuan yang kemudian memunculkan gerakan Averroisme di
Barat.
B. BIOGRAFI HIDUP DAN KARYANYA
Nama lengkapnya Abu al-Walid
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Berasal dari keturunan Arab
kelahiran Andalusia.[1] Ibnu Rusyd lahir di kota Cordova tahun 526-595 H
atau 1126-1198 M. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh,
ayahnya seorang hakim. Demikian juga kakeknya sangat terkenal sebagai
ahli fiqh. Sang kakek dengan cucunya mempunyai nama yang sama, yaitu Abu
al-Walid. Maka untuk membedakannya, sang kakek dipanggil Abul Walid
al-Jadd (kakek), sedang sang cucu Abul Walid al-Hafidz.[2]
Semenjak kecil Ibnu Rusyd
belajar ilmu fiqh, ilmu pasti dan ilmu kedokteran di Sevilla kemudian
berhenti dan pulang ke Cordova untuk melakukan studi, penelitian,
membaca buku-buku dan menulis.[3] Pada usia 18 tahun Ibnu Rusyd hijrah
ke Maroko, di sana ia belajar kepada Ibnu Thufail. Dalam bidang ilmu
Tauhid (teologi) ia berpegang pada paham Asy’ariyah dan hal ini tetap
memberikan jalan baginya untuk mempelajari ilmu filsafat. Ringkasnya
Ibnu Rusyd adalah seorang yang ahli dalam bidang filsafat, agama,
syari’at, dan kedokteran yang terkenal pada masa itu.[4] Pada tanggal 19
Shafar 595 H/10 Desember 1198 M, Ibnu Rusyd meninggal dunia di kota
Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke
kampung halamannya yaitu kota Cordova.
Menurut Ibrahim Madkur, Ibnu
Rusyd adalah filosof muslim besar periode terakhir dalam dunia filsafat
Islam.[5] Setelah wafatnya Ibnu Rusyd, secara berangsur-angsur filsafat
Islam mulai mengalami kemunduran, akibat kritikan tajam al-Ghazali
terhadap masalah-masalah filsafat dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah.
Ketika budaya berfikir ala filsafat mulai dibenci dan banyak
ditinggalkan umat Islam, maka pemikiran-pemikiran filsafat beralih
kepada Eropa yang dibawa dan dikembangkan oleh murid-murid Ibnu Rusyd
dari non-muslim. Berawal dari sini, filsafat-filsafat Aristoteles dan
Ibnu Rusyd akhirnya mulai berkembang di Eropa secara perlahan-lahan
walaupun pada awalnya mendapat kecaman yang keras dari pihak Gereja.
Namun pada akhirnya ilmu filsafat menjadi pintu gerbang bagi Eropa dalam
menyongsong peradaban yang maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Sebagai seorang penulis
produktif, Ibnu Rusyd banyak menghasilkan karya-karya dalam berbagai
disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya Ibnu Rusyd
mencapai 78 judul yang terdiri dari 39 judul tentang filsafat, 5 judul
tentang kalam, 8 judul tentang fiqh, 20 judul tentang ilmu kedokteran, 4
judul tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul tentang
nahu dan sastra.[6] Di antara karya-karyanya yang terkenal, yaitu:
Tahafut al-Tahafut. Buku yang
terkenal dalam lapangan ilmu filsafat dan ilmu kalam. Buku ini merupakan
pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali terhadap para filosof
dan masalah-masalah filsafat dalam bukunya yang berjudul Tahafut
al-falasifah.
Al-Kasyf ‘an Manahij al-‘Adillah
fi ‘Aqaid ahl al-Millah. Buku yang menguraikan metode-metode
demonstratif yang berhubungan dengan keyakinan pemeluk agama.
Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Buku fiqh Islam yang berisi
perbandingan mazhab (aliran-aliran dalam fiqh dengan menyebutkan alasan
masing-masing).
Fashl al-Maqal Fi Ma Baina
al-Himah Wa asy-Syirah Min al-Ittishal. Buku yang menjelaskan adanya
persesuaian antara filsafat dan syari’at.[7]
Al-Mukhtashar al-Mustashfa fi Ushul al-Ghazali. Ringkasan atas kitab al-Mustashfa al-Ghazali.
Risalah al-Kharaj. Buku tentang perpajakan.
Kitab al-Kulliyah fi al-Thibb. Ensiklopedia kedokteran.
Dhaminah li Mas’alah al-‘Ilm al-Qadim. Buku apendiks mengenai ilmu qadimnya Tuhan yang terdapat dalam buku Fashl al-Maqal.
Al-Da’awi. Buku tentang hukum acara di pengadilan.
Makasih
al-Mulk wa al-Murbin al-Muharramah. Buku yang berisi tentang
perusahaan-perusahaan negara dan sistem-sistem ekonomi yang terlarang.
Durusun fi al-Fiqh. Buku yang membahas beberapa masalah fiqh.[8]
Buku-buku yang disebutkan di
atas merupakan karya asli dari pemikiran Ibnu Rusyd. Selain itu, Ibnu
Rusyd juga menghasilkan karya ulasan atau komentar terhadap karya
filosof-filosof sebelumnya seperti Ibnu Sina, Plato, Aristoteles, Galen
dan Porphiry, seperti: Urjazah fi al-Thibb, Kitab al- Hayawan, Syarh
al-Sama’ wa al-A’lam, Syarah Kitab Burhan, Talkhis Kitab al-Akhlaq li
Aristhuthalis, Jawami’ Siyasah Aflathun, dan sebagainya.[9]
C. FILSAFAT IBNU RUSYD
Sebagai komentator Aristoteles
tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh
filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat
syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha
mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa
latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru
tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah
dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat
Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.[10]
Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd
tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti
al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun
dalam beberapa persoalan filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari
kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya pemikiran Aristoteles telah
bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang dibawa
komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap
berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran
gurunya Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran
Aristoteles pada masa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.[11]
Namun demikian, walaupun Ibnu
Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan berarti dalam berfilsafat ia
selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga
memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang
menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik
hingga sekarang.
Agama dan Filsafat
Ibnu Rusyd adalah tokoh yang
ingin mengharmoniskan agama dan filsafat. Di antaranya tidak terdapat
dua kebenaran yang kontradiktif, tetapi sebuah kebenaran tunggal yang
dihadirkan dalam bentuk agama, dan melalui takwil, menghasilkan
pengetahuan filsafat. Agama adalah bagi setiap orang, sedangkan filsafat
hanya bagi mereka yang memiliki kemampuan-kemampuan intelektual yang
memadai. Meskipun demikian, kebenaran yang dijangkau suatu kelompok
tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang ditemukan kelompok lain.[12]
Seperti al-Kindi, Ibnu Rusyd
juga berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah memperoleh pengetahuan
yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini, filsafat sesuai dengan
agama. Sebab tujuan agama-pun tidak lain adalah untuk menjamin
pengetahuan yang benar bagi umat manusia dan menunjukkan jalan yang
benar bagi kehidupan yang praktis.[13] Dari sini dipahami bahwa Agama
dan filsafat dalam pandangannya adalah sejalan dan memiliki tujuan yang
sama yaitu untuk mencapai pengetahuan yang benar. Berfilsafat secara
benar yaitu dengan menggunakan metode ilmu mantiq yang benar pula,
sehingga memunculkan pengetahuan yang tidak bertentangan dengan ajaran
agama. Dengan arti lain orang yang berfilsafat atau filosof menggunakan
logika untuk mencari kebenaran, ukuran kebenaran menurut Rusyd adalah
akal yang dihiasi oleh nilai-nilai agama.
Tingkat Kemampuan manusia
Dalam membuktikan kebenaran Ibnu
Rusyd merumuskan perbedaan tingkat kapasitas dan kemampuan manusia
dalam menerima kebenaran menjadi tiga kelompok. Pertama adalah yang
menggunakan metode retorik (khathabi). Kedua metode dialektik (jadali)
dan ketiga metode demonstratif (burhani). Metode yang pertama dan kedua
dipakai oleh manusia awam, sedangkan metode yang ketiga merupakan
pengkhususan yang diperuntukkan bagi kelompok manusia yang tingkat
intelektual dan daya kemampuan berfikirnya tinggi.
Tingkat kemampuan manusia ini
terkait dengan masalah pembenaran atau pembuktian atas sesuatu yang
dipengaruhi oleh kapasitas intelektualnya. Ibnu Rusyd menjelaskan, bagi
manusia, adanya tingkatan pembuktian kebenaran secara burhani, jadali
dan khatabi, karena kemampuan manusia dalam menerima kebenaran itu
berbeda-beda dan beragam.[14] Pengelompokan ini, menurut Ibnu Rusyd
sesuai dengan semangat al-Qur’an yang mengajarkan umat Islam untuk
mengajak manusia kepada kebenaran dengan jalan hikmah, pelajaran yang
baik dan debat yang argumentatif. Allah berfiran dalam surat an-Nahl
ayat 125 berbunyi:
“Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.[15]
Kebahagiaan
Konsep kebahagiaan Ibnu Rusyd
sejalan dengan ide al-Farabi dan Ibnu Sina yang menjelaskan bahwa ilmu
pengetahuan adalah jalan pencapaian dan kebahagiaan spiritual. Derajat
kesempurnaan tertinggi ialah jika seseorang menembus tabir dan melihat
dirinya aspek demi aspek di hadapan realitas-realitas. Ibnu Rusyd
menolak jika kesederhanaan dan kejumudan orang-orang tasawuf merupakan
sarana untuk menyendiri dan berhubungan dengan Tuhan. Ia menolak
anggapan kaum sufi mengemukakan bahwa kebahagiaan seseorang dapat
dicapai tanpa ilmu pengetahuan.[16]
Ibnu Rusyd percaya bahwa konsep
kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui akal aktual dan ilmu
pengetahuan. Lebih lanjut Ibnu Rusyd berpendapat bahwa sejak bayi
dilahirkan, manusia sudah membawa kesiapan untuk menerima
pengetahuan-pengetahuan umum sehingga jika ia mulai belajar, maka
kesiapan ini berubah menjadi akal aktual. Akal ini selalu berkembang dan
meningkat sampai ia bisa berhubungan dengan akal yang tidak ada pada
benda dan daripadanya mengambil pancaran ilham. Akal yang sudah sampai
kepada tahap menerima pancaran ilham merupakan kesempurnaan tertinggi.
Sedangkan jalan yang akan menuntun untuk mencapainya, ialah perkembangan
segala pengetahuan dan peningkatan persepsi manusia. Karena ilmu
pengetahuan semata-mata adalah jalan kebahagiaan dan hubungan dengan
alam akal dan alam ruh.[17]
Akal dan Jiwa Manusia
Manusia menurut Ibnu Rusyd,
mempunyai dua gambaran yang dalam bahasa Arab disebut ma’ani.[18] Kedua
gambaran itu dinamakan percept (perasaan) dan concept (pikiran).
Perasaan adalah gambaran khusus yang dapat diperoleh dengan pengalaman
yang berasal dari materi. Ibnu Rusyd memberi perbedaan antara perasaan
dan akal. Pemisahan ini memperlihatkan kecenderungan Ibnu Rusyd dalam
memisahkan antara pengetahuan akali (aqli) dengan pengetahuan inderawi
(naqli). Dengan sendirinya kedua pengetahuan ini berbeda dalam hal cara
manusia memperolehnya. Pengetahuan inderawi diperoleh dengan percept
(perasaan), sedangkan pengetahuan aqli diperoleh lewat akal,
pemahamannya dilakukan dengan penalaran atau pikiran.
Akal sendiri dibagi menjadi dua
jenis, yang pertama disebut akal praktis dan yang kedua adalah akal
teoritis. Akal praktis memiliki fungsi sensasi, di mana akal ini
dimiliki oleh semua manusia. Di samping memiliki fungsi sensasi, akal
praktis juga memiliki pengalaman dan ingatan. Sedangkan akal teoritis
mempunyai tugas untuk memperoleh pemahaman (konsepsi) yang bersifat
universal.[19] Penulis yakin pendapat Rusyd logis dan tepat, fakta
membuktikan perkembangan akal manusia menunjukkan benar adanya, buktinya
dari sekian banyak manusia tidak semuanya berfikir sama dan cara
mengambil kesimpulanpun berbeda pula, tergantung pada tingkat kecerdasan
intelektualis manusia tersebut.
D. TANGGAPAN ATAS PENDAPAT AL-GHAZALI
Seperti diketahui, al-Ghazali
dalam buku Tahafut al-Falasifah telah menyerang para filosof. Sedikitnya
ada dua puluh persoalan yang diuraikan al-Ghazali berkenaan dengan
kerancuan berfikir mereka. Tiga di antaranya, menurut al-Ghazali,
menyebabkan para filosof telah kufur. Sebagai filosof, Ibnu Rusyd merasa
berkewajiban membela para filosof dan pemikiran mereka dan mendudukkan
masalah tersebut pada proporsinya. Dari sini muncullah karyanya berjudul
Tahafut al-tahafut sebagai sanggahan pendapat al-Ghazali, bahkan
mengisayaratkan bahwa al-Ghazali lah yang sebenarnya kacau dalam
berfikirnya.
Tiga masalah filsafat yang
menyebabkan kekafiran para filosof menurut al-Ghazali ialah qadimnya
alam, Tuhan tidak mengetahui rincian yang terjadi di alam (juz’iyyat),
dan kebangkitan jasmani. Berikut tanggapan Ibnu Rusyd terhadap kritikan
al-Ghazali mengenai tiga masalah tersebut.
1. Qadimnya Alam
Ibnu Rusyd menjelaskan,
perselisihan yang terjadi antara kaum teolog dengan kaum filosof klasik
mengenai persoalan apakah alam semesta ini qadim (ada tanpa permulaan)
atau hadits (ada setelah tiada) sebagaimana pendapat al-Ghazali. Menurut
Rusyd dari yang tidak ada tidak mungkin menjadi ada, tetapi mungkin
terjadi adalah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.[20]
Lebih lanjut Rusyd mengatakan tidak ada ayat yang menunjukkan bahwa
Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain Allah
dan kemudian barulah dijadikan alam, seperti tersebut dalam surat Hud
ayat 7 berikut ini:
”Dan Dia-lah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu)
di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik
amalnya ".[21] (lihat juga Q.S. Fusilat ayat 11 dan al-Ambiya ayat 30
serta Ibrahim ayat 47-48).
Inti dari ayat di atas menurut
pemahamn Ibnu Rusyd adalah sebelum adanya wujud langit dan bumi telah
ada wujud lain yaitu air atau uap, kemudian Allah menciptakan bumi
dengan air atau uap tersebut. Memang alam ini betul diwujudkan atau
diciptakan kata Rusyd, tetapi diwujudkan secara terus menerus, artinya
penciptaan itu terus menerus setiap saat dalam bentuk perubahan alam
yang berkelanjutan, semua bagian alam akan berubah dalam bentuk baru
menggantikan bentuk lama. Pencipta alam hanya dilakukan sekali saja.
Adapun keabadian alam ini
menurut Rusyd ada dua macam keabadian yaitu keabadian dengan sebab dan
keabadian tanpa sebab. Hanya Tuhan yang abadi tanpa sebab, sedangkan
alam menjadi abadi tetapi dengan adanya sebab atau perantara. [22]
Penulis melihat perbedaan
pendapat al-Ghazali dan teolog lainnya dengan pemikiran Ibnu Rusyd hanya
pada penamaan saja, tetapi subtansinya tidak ada beda satu sama lain.
Penulis yakin tidak ada yang salah dengan Ibnu Rusyd, barangkali berbeda
sudut pandang saja. Andaikata mereka hidup dalam satu zaman mungkin
perdebatan itu tidak akan terjadi, sebab mereka sendiri pada dasarnya
sepakat tentang adanya tiga macam wujud yaitu: Sisi wujud yang pertama
adalah: Wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri dan
berasal dari sesuatu yang berbeda, yang tercipta dari bahan (materi)
tertentu dan didahului oleh zaman. Inilah kondisi benda-benda wujud yang
tertangkap indera seperti air, udara, bumi, hewan tumbuhan dan
sebagainya. Wujud ini disepakati untuk menamakannya sebagai sesuatu yang
muhdatsah (tercipta setelah tidak ada).[23]
Sisi wujud yang kedua
berseberangan dengan sisi tersebut di atas adalah wujud yang
keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan oleh
sesuatu apapun juga dan tidak didahului oleh zaman. Sisi wujud ini juga
disepakati, untuk menamakannya sebagai yang qadim (ada tanpa permulaan).
Wujud ini adalah Allah Ta’ala, penggerak sesuatu yang ada.[24]
Ketiga sisi wujud yang di antara
keduanya yaitu: wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu
apapun, tidak didahului oleh zaman, akan tetapi keberadaannya disebabkan
oleh suatu penggerak. Sisi wujud ini adalah alam semesta dengan segala
perangkatnya. Mereka semua setuju adanya tiga sifat tersebut pada alam
semesta. Para teolog mengakui bahwa zaman tidak mendahului alam semesta,
karena zaman adalah sesuatu yang menyertai gerak dan benda. Jadi letak
permasalahannya adalah sisi wujud yang pertengahan ini menempati dan
memiliki persamaan dengan wujud yang muhdats maupun wujud yang
qadim.[25]
2. Pengetahuan Tuhan
Dalam masalah pengetahuan Tuhan,
al-Ghazali menuduh para filosof berpendirian bahwa Tuhan tidak
mengetahui hal-hal yang kecil, kecuali dengan cara yang kulliyat (umum,
universal). Ibnu Rusyd menjawab tuduhan al-Ghazali ini telah salah paham
terhadap pendapat filosof. Ibnu Rusyd meluruskan, pendapat filosof
adalah bahwa pengetahuan Tuhan tentang rincian (juz’iyyat) berbeda
dengan pengetahuan manusia.[26]
Pengetahuan manusia adalah
mengambil bentuk efek, yaitu melalui yang ditangkapnya oleh panca
indera, sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab bagi terwujudnya
rincian tersebut. Karena itu, pengetahuan manusia bersifat baharu dan
pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azalinya. Tuhan
mengetahui segala hal yang terjadi di alam ini. Namun begitu,
pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat-sifat kulliyat atau
juz’iyyat, karena sifat-sifat yang demikian hanya dapat dikaitkan kepada
makhluk saja. Secara pasti, pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui
kecuali oleh Tuhan sendiri. [27]
3. Kebangkitan Jasmani
Al-Ghazali menjelaskan dalam
Tahafut al-Falasifah para filosof mengatakan bahwa kebangkitan di
akhirat nanti adalah bersifat rohani. Maksudnya manusia akan menerima
balasan baik atau buruk adalah rohaninya bukan jasmani, sementara
pandangan al-Ghazali adalah jasmani dan juga rohani.[28]
Menanggapi masalah di atas, Ibnu
Rusyd menyatakan bahwa kebangkitan rohani berdasarkan pendapat para
filosof merupakan ta’wil (interpretasi) yang tidak perlu dipermasalahkan
karena yang terpenting bahwa para filosof juga meyakini adanya hari
kebangkitan dan tidak mengingkarinya. Pengingkaran terhadap hari
kebangkitan yang dapat dikategorikan kafir, bukan pada eksistensi
kebangkitannya.[29] Rusyd dalam hal ini cendrung berpendapat bahwa
kemungkinan rohani saja, namun ada kemungkinan juga beserta jasmani,
tetapi bukan lagi jasmani duniawi yang telah fana, tetapi jasmani
lain.[30]
Sementara baik para filosof
maupun sufi sepakat bahwa puncak kebahagiaan adalah pada rohaninya dan
bukan pada materinya. Meskipun demikian, Ibnu Rusyd sendiri tidak
menolak kemungkinan adanya kebangkitan jasmani juga, karena tidak ada
yang tidak mungkin dilakukan oleh Allah SWT. Bagi orang awam (khatabi,
jadali) yang masih berfikir sederhana dan belum mampu menangkap
pesan-pesan al-Qur’an secara abstrak, penggambaran jasmani adalah untuk
memotivasi mereka agar melakukan perbuatan baik dan meninggalkan
perbuatan jahat.
E. GERAKAN AVERROISME DI EROPA
Averroisme merupakan istilah
yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat Aristoteles yang
dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin, atau juga
disebut gerakan intelektual yang berkembang di Barat pada abad ke
13-17.[31]
Kontak Eropa dengan pemikiran
Ibnu Rusyd bermula dari sikap pemerintah al-Muwahhidun setelah kematian
Abu Ya’cub tahun 1184 M, seterusnya digantikan oleh putranya Abu Yusuf
al-Mansur. Ia terpengaruh oleh fitnah orang yang tidak suka kepada Ibnu
Rusyd, sehingga beliau ditangkap dan disingkirkan ke Lucena di selatan
Cardova. Pemerintah juga memerintahkan untuk membakar semua karyanya dan
sekaligus melarang membaca karya-karyanya.[32] Beberapa pengikut setia
dari muridnya seperti Maimunides, Joseph Benjehovah, bangsa Yahudi ini
menyambut Rusyd dengan rasa kecintaan di Lucena. Di sini Ibnu Rusyd
melanjutkan pekerjaannya mengajar dan mengarang, umumnya murid beliau
adalah bangsa Yahudi.
Pemikirannya terus berkembang di
Eropa dengan diterjemahnya buku-buku Rusyd dari bahasa Arab ke bahasa
latin dan Ibrani, selanjutnya menggoncangkan sosio-religius yang selama
ini telah merantai akal mereka dengan kebijakan gereja.
Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin
menunjukkan bentuknya dengan munculnya gerakan Averroisme di Barat yang
mencoba mengembangkan gagasan-gagasan Ibnu Rusyd yang rasional dan
ilmiyah. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan
terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas
menyatakan dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa
Johannes Jandun (1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara
terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban dari Bologna
(1334) serta Paul dari Venesia (1429), para pendukung pemikiran Ibnu
Rusyd lainnya mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian
mereka.[33]
Tokoh yang terkenal sebagai
pelopor Averroisme adalah Siger de Brabant (1235-1282) dan diikuti oleh
murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius
van Parma.[34] Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan
menela’ah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles.
Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat
menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana
Barat untuk mengoptimalkan penggunaan akal dan meninggalkan paham-paham
yang bertentangan dengan semangat rasional. Pada gilirannya Barat
bangkit dari keterpurukan menuju puncak pengetahuan, sehingga
Nouruzzaman mengatakan Spanyol sebagai jembatan penyebrangan muslim ke
Barat.[35]
Ajaran-ajaran mereka yang
terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain adalah pandangan mereka
tentang pembuktian keberadaan Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan Ibnu
Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada
yang menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada
hentinya itu tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada
kesimpulan adanya penggerak utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd
disebut al-Muharrik al-Awwal (Tuhan)[36] atau Prima Causa menurut
Aristoteles.
Berdasarkan pandangan ini,
mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam pandangan mereka tentang teori
kausalitas. Meskipun Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, Tuhan
hanyalah menciptakan akal pertama saja, sedangkan secara seterusnya
diciptakan oleh akal-akal berikutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd
dengan hukum-hukum alam terhadap penciptaan Tuhan. Jadi, sebagaimana
Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa penciptaan Tuhan terhadap segala
sesuatu bukanlah secara langsung, tetapi melalui hukum-hukum alam yang
tetap yang telah diciptakan-Nya terhadap segala ciptaan-Nya tersebut
Pada tahun 1270, paham
Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan murid-muridnya
diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu menganggap
ajaran Ibnu Rusyd berbahaya bagi akidah orang Kristen. Lalu pada tahun
1277 M pandangan-pandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris
melalui sebuah undang-undang yang dikeluarkan gereja. Siger van Brabant
sendiri akhirnya dihukum mati oleh gereja tujuh tahun kemudian. Pada
tahun-tahun berikutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang
universitas yang mengajarkan pemikiran Aristoteles dan Ibnu Rusyd.
Banyak tokoh-tokoh Averroisme dihukum dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd
dibakar. Selama tahun 1481-1801, tidak kurang dari 340.000 pengikut
Rusyd dihukum, dan hamper 32.000 diantaranya dibakar hidup-hidup.[37]
Pendapat lain mengatakan sejak tahun 1481-1499 pengikut Rusyd telah
dibakar sebanyak 10.022 orang dan 66.860 orang dihukum gantung serta
97.023 orang duhukum dengan berbagai sisksaan.[38]
Namun demikian, larangan dan
kutukan gereja terhadap Averroisme tidak membuat surut perkembangan
gerakan intelektual ini, malah sebaliknya semakin menyebar ke berbagai
wilayah lainnya di Eropa.[39] Apalagi setelah Johannes mengeluarkan
statemen bahwa Averroisme itu benar, kitab Suci juga benar, baginya
kebenaran ada dua yaitu kebenaran filosofis dan kebenaran teologi.[40]
Gerakan Averroisme yang ditandai
oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan renaisans di Eropa,
artinya kebangkitan Eropa dalam bidang ilmu pengetahuan warisan Yunani
dan Romawi yang pernah padam. Sekaligus melepaskan keterikatan dengan
gereja sebagai agama mayoritas Eropa. Era renaisans Eropa muncul pada
abad ke-14 hingga sekitar pertengahan abad ke-17.[41]
Inti renaisans adalah mengangkat
kembali kedaulatan manusia yang telah dirampas oleh Dewa dan motologi
dalam waktu yang berabad-abad lamanya. Kehidupan berpusat pada manusia
bukan pada Tuhan. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan
Ibnu Rusyd tentang keharmonisan antara akal dan wahyu, filsafat dan
agama, menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan
ilmu pengetahuan sebagai warisan dari peradaban Yunani dan Islam.
0 komentar:
Posting Komentar